Tangkapan
Menurun, Konsumsi Dikurangi
Sebulan terakhir sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Bima, dilanda
cauca ekstrim. Tak ayal kondisi itu berdampak pada lalulintas transportasi laut
dan aktivitas nelayan. Kondisi yang sama
juga dialami sejumlah nelayan di Kelurahan Tanjung Kota Bima. Seperti apa?
Berikut Catatan Fachrunnas.
Puasa Melaut: Akibat cuaca buruk, sejumlah nelayan di Kota Bima terpaksa puasa melalut. Foto Nas |
Angin mendesir menyibakan warna gelap pada dinding langit yang semakin
menggelayut, guratnya semakin jelas.
Deburan ombak, seolah menari dengan perahu nelayan yang terparkir di
Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Kelurahan Tanjung.
Tarian dan suara beberapa kelompok burung bersahut-sahutan dengan deburan
ombak. Seorang lelaki paruh baya tampak
duduk melamum menghadap laut. Sorot matanya terlihat serius memandangi
perahu-perahu yang diparkir di depannya.
Pria itu adalah Mahmud (65),
nelayan asal RT 10/04 kampung Sumbawa Kelurahan Tanjung Kota Bima. Namun sudah
sebulan terakhir dia tak melaut, setelah Bima dan daerah sekitarnya dilanda
cuaca ekstrim. “Sebenarnya saya ingin melaut walaupun tak sampai melewati laut
Kolo, tapi kondisi tak memungkinkan. Apalagi saat ini mesin sampan saya rusak,”
ujarnya kepada Bimeks, sore itu.
Sebenarnya, Mahmud, bisa saja
nekat melaut hingga wilayah Wera, seperti yang dilakukan sebagian nelayan lain
di lingkungannya. Namun, kondisi sampannya yang terlalu kecil dan kondisi alam
yang tak bisa diajak berkompromi memaksanya harus mengurungkan niatnya itu. Akibatnya,
dia dan keluarganya pun harus menerima konsekuensinya, mengurangi intensitas makan
setiap hari. “Mau bagaimana lagi mas, kondisinya memang sudah begini. Hal
seperti ini sudah sering kami alami, setiap cuaca buruk. Kalau tidak kurangi
jatah makan, bisa-bisa kami tak bisa makan besok-besoknya,” ujarnya.
Mengayuh sampan dan
menebar jala di atas gelombang laut, merupakan satu-satunya cara Mahmud mengayak
harapan hidup yang lebih baik. Namun,
mimpinya yang sudah mengonggok sejak lama,
selalu luruh. Hasil jerihpayahnya mengarungi laut hanya mampu
memenuhi rasa laparnya sesaat saja. Jangankan
memimpikan bergelut dengan pendidikan, hidup
layak, apalagi memiliki rumah permanen
dan televisi seperti pengusaha atau pejabat, merupakan hal mustahil. “Walaupun
begitu, saya cukup bahagia mas, bisa hidup dan makan dari penghasilan yang
halal, ketimbang harus berbuat curang dan dilarang agama,” katanya.
Suami
Hadijah ini, hanyalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Hal itu juga memupuskan
harapannya untuk bermimpi beralih pada pekerjaan yang lain. Kondisi yang tak jauh berbeda dengan enam
anaknya. Sejak kecil mereka dididik menjadi nelayan. “Terus terang saya tidak
mampu membayar biaya sekolah mereka, sehingga seluruh anak saya hanya tamat
sampai SD,” katanya.
Kendati
terhimpit masalah ekonomi dan intensitas makan tak menentu, Mahmud, bersyukur,
bisa memaknai hidup dengan perjuangan. Meski dunia terasa kejam bagi dia dan
keluarganya. Hal terindah baginya, tidak
melanggar peraturan, norma dan ketetuan Tuhan. “Walaupun pendidikan dan
ekonomi kami terbatas, sejak anak-anak saya kecil, saya selalu mengajarkan
mereka agar tak berbuat curang,” katanya.
Sebenarnya saat alam tak bersahabat untuk
nelayan, Mahmud pernah mencoba menggeluti pekerjaan lain, menjadi buruh di
pelabuhan Bima. Namun, pekerjaan seperti itu tak bisa lagi dilakoninya karena
keterbatasan kondisi fisiknya yang semakin terkoyak oleh umur yang semakin
menua. “Sebenarnya jika boleh jujur, pengenya bisa memiliki pekerjaan lain,
selain menjadi nelayan. Karena menjadi nelayan atau buruh membutuhkan fisik
yang kuat,” katanya.
Jika bisa
berharap pada Pemerintah Kota Bima, Mahmud, ingin mendapatkan bantuan modal
untuk berusaha bagi dirinya dan nelayan lain di lingkungannya. Selama ini lebih
dari separuh warga kampung Sumbawa Kelurahan Tanjung, hanya bisa mengandalkan
potensi luat. “Kalau bisa berharap, pengen sekali ada bantuan, karena selama
ini kami rasanya seperti mimpi ingin memiliki modal,” katanya.
Mahmud,
hanyalah sepenggal, kisah nelayan di Kota Bima. Masih banyak nelayan lain
mengalami kesulitan yang sama, terutama seperti saat ini, ketika sejumlah
daerah dilanda cuaca ektrim. (*)